Sabtu, 13 Oktober 2012

TakdirKu RamadhanKu (Romantisme Ramadhan)


Hidupku yang lalu tak secerah dan seceria seperti Ramadhan tahun ini. Hidupku kini jauh lebih berwarna dari pada sebelumnya. Kini, aku telah menemukan arti kehidupan yang sesungguhnya. Aku merasa benar-benar telah menjadi seorang pianis meskipun aku telah mengenal piano sejak kecil. Aku baru saja menyadari bahwa piano begitu sangat megah. Ia memberikan alunan musik yang indah. Oleh karena itu, aku sangat menyukai piano. Piano adalah teman yang selalu ada untukku di saat aku bahagia ataupun sedih. Itulah alasan kenapa aku lebih memilih mengambil sekolah piano dari pada sekolah akademi. Setiap pagi aku berangkat ke sekolah bersama supir pribadiku.
Di sekolah piano, aku mengambil kelas VVIP. Jadi, aku hanya belajar berdua dengan seorang guru profesional. Aku memang ingin belajar bersama teman-teman di kelas Regular. Tetapi keinginanku untuk menjadi pianis yang profesional membuatku memilih jalan yang cukup sulit ini. Bila di kelas Regular semua bisa bekerja sama, tetapi aku hanya sendiri. Itulah yang membuatku takut bila bertemu dengan orang asing.
Suatu malam, aku pergi ke sebuah cafe sepulang dari sholat tarawih. Aku duduk di sudut cafe sambil menunggu pesananku. Tak berapa lama kemudian, seorang pelayan datang membawa segelas capuccino. Aku meraih gelas itu dan meminumnya. Tiba-tiba si pelayan berkata,"Kamu Lolita, ya?" Tanyanya sambil memperhatikan gelangku. "Ternyata kamu masih memakai gelang itu." Katanya lagi. "Kamu ini siapa?" Tanyaku bingung. "Kamu lupa sama aku? Sudah lama memang kita tidak bertemu." Katanya lalu beranjak pergi. Aku bertanya-tanya siapakah dia? Kenapa dia bisa mengetahui namaku? Rasa penasaranku membuatku menghampiri cafe tersebut setiap hari sepulang ku dari sekolah hanya untuk memperhatikannya. Aku memandangnya dalam-dalam sambil mencoba mengingat dirinya. Namun, selama apapun aku memandang, aku tetap tidak menemukan jawabannya. Hingga akhirnya aku menyerah dan menganggap pelayan itu hanya berpura-pura mengenalku.
Aku kembali menyibukkan diri dengan sekolah. Dan kesibukan itu membawa hasil yang memuaskan. Aku menjadi peringkat pertama di sekolah piano. Guru pribadiku sangat bangga dan mengajakku untuk merayakannya di cafe. Dan seperti biasanya, pelayan itu muncul kembali membawakan pesananku. Aku merasa bahwa cafe tersebut hanya mempunyai satu pelayan karena ia selalu muncul di hadapanku. "Apa kabar? Akhirnya kita bertemu kembali." Begitu sapanya. Aku tak membalas sapaan itu. Hanya senyum yang ku torehkan padanya. "Kenapa kamu tidak memakai gelang itu? Biasanya kamu selalu memakainya" Katanya setelah memperhatikan tanganku. "Oh, gelang merah itu?" Tanyaku. Tiba-tiba dia tersenyum sambil mengatakan,"Selamat atas kesembuhan matamu." Dan kalimat itu berhasil membuatku semakin bingung. Ku tanyakan siapa namanya yang di jawab 'Ferly' olehnya. Seketika itu juga aku berdiri. Tak terasa air mataku terjatuh karena bahagia. "Apa kamu benar-benar Ferly?" Tanyaku yang di jawab dengan sebuah anggukan di sertai senyum yang merekah.
Ku pandangi lama wajah Ferly sebagai obat penghilang rindu karena baru melihatnya setelah sekian lama. Sebelum aku meninggalkan cafe, aku berkata akan menemuinya kembali di sana besok. "Besok? Aku tidak bisa." Jawabnya yang membuatku kecewa. "Kenapa? Apa kamu tidak ingin bertemu denganku? Padahal aku masih belum puas melihatmu." Kataku. "Bukan begitu, besok aku libur bekerja. Aku akan menjemputmu lalu kita pergi ke sebuah tempat bersama." Serunya.
Keesokan harinya, aku pergi dengan Ferly ke sebuah taman yang sangat indah. "Ramadhan tahun lalu, kita bertemu di sini. Kamu tersesat lalu menangis di kursi ini. Kamu bercerita bahwa kamu merindukan ibumu. Tapi kamu hanya dapat memeluk gelang merah pemberian ibumu." Terangnya saat mengingat pertemuan pertamaku dengannya. "Lalu aku menggodamu. Aku mengatakan kalau kamu tidak sedang sendirian. Kamu bersama ratusan bunga yang indah di taman ini. Dan kamu mengatakan kalau kamu ingin sekali melihat taman ini suatu hari nanti." Tambahnya melanjutkan nostalgianya. "Sejak saat itu aku sering bertanya, kenapa kita bisa bertemu?" Katanya lagi. "Karena takdir. Dari sekian banyak orang di dunia ini, hanya kamu yang di pertemukan Allah untukku." Jawabku.

-THE END-

Minggu, 07 Oktober 2012

Malam Terakhir


Ramadhan kali ini aku mencoba fokus untuk ibadah. Aku benar-benar mempersiapkan untuk meraih kemenangan yang sesungguhnya di hari yang fitri. Aku tidak lagi meninggalkan sholat fardhu dan aku juga rajin melakukan sholat sunnah. Melakukan taddarus bersama keluarga sepulang dari tarawih hingga larut malam. Dan tak lupa aku berbagi bersama orang-orang yang membutuhkan. Sering kali aku membagikan makanan pada anak-anak di pinggir jembatan Kali Merahu. Anak-anak itu membuatku merasa nyaman meski dengan keterbatasan mereka. Sebagian besar anak-anak yang tinggal di pinggir jembatan itu adalah anak-anak yang cacat. Meski mereka di telantarkan orang tua mereka, mereka tetap menyayangi orang tua mereka. mereka selalu berkata, "Semoga Ibu dan Bapak makan makanan yang lebih baik dari ini." Ketika ku berikan makanan untuk buka. Mereka tidak pernah mengeluh pada Allah meski mereka di takdirkan seperti itu. Ketika aku bertanya, "Bagaimana kalian bisa setegar ini?" Mereka selalu menjawab bahwa mereka belajar dari seseorang. Tapi aku tidak pernah bertemu dengan seseorang itu.
Pada malam ke tujuh belas, aku mengajak anak-anak itu ke villa keluargaku. Di villa, kami melakukan tadarrus Al-Qur'an hingga subuh. Setelah sholat subuh, kami beranjak untuk tidur. Tepat pukul 07.00 WIB, aku mengantarkan anak-anak kembali ke pinggir jembatan Kali Merahu. Sebelum pergi, aku melihat wajah salah seorang dari mereka pucat. Aku segera menghampiri anak itu. Dan teryata dia demam. Aku segera membawanya ke Rumah Sakit. Selesai di periksa, dokter menyarankan anak itu untuk menjalani rawat inap karena ia terserang penyakit Typhus. Awalnya ia menolak karena tidak memiliki biaya. Tapi ia setuju setelah aku mengatakan sanggup untuk membiayai biaya perawatannya.
Saat di ruang inap aku bertanya, "Siapa nama kamu?"
"Aku Fadly, kak."
"Kenapa tanganmu bergetar?"
"Aku takut di sini sendiri, kak."
"Jangan takut Fadly, kakak akan membawa teman-temanmu kesini."
"Tapi mereka sedang bekerja, kak."
"Ya sudah kakak akan menemani kamu sampai mereka selesai bekerja."
"Tidak kak terima kasih. Kakak sudah melakukan banyak hal untuk saya. Terima kasih banyak, kak."
"Tidak apa-apa, saya senang melakukan itu. Asalkan kamu bisa sembuh dan berkumpul kembali bersama teman-temanmu."
"Sebenarnya mereka bukan hanya teman untukku. Dia bahkan lebih dari keluarga untukku. Kami sudah bersama sejak kecil. Mereka adalah separuh dari jiwaku."
"Allah memang baik ya, bisa menciptakan sseorang anak sebaik kamu. Umur kamu berapa?"
"13 tahun, kak."
"Kamu tidak pernah sekolah?"
"Tidak, tapi aku sering mengintip anak-anak yang sedang belajar di kelas."
"Tapi kamu bisa membaca dan menulis kan?"
"Bisa."
"Apa kamu tahu alamat orang tua kamu?"
"Tidak, memangnya kenapa, kak?"
"Kalau kamu tahu alamat mereka, kamu bisa mengirim surat untuk mereka. Kakak yakin pasti kamu sangat merindukan mereka."
"Tapi mereka pasti tidak merindukanku. Karena mereka tidak pernah mencariku."
"Mungkin mereka pernah merindukanmu. Tapi mereka tidak tahu dimana kamu berada."
"Ya semoga saja begitu."
"Ya sudah, kamu istirahat dulu biar cepat sembuh."
Sore harinya, aku mengajak anak-anak yang lain untuk menginap di rumah sakit. Awalnya aku sedikit takut kalau-kalau mereka akan mengganggu pasien yang lain. Tapi ternyata aku salah, mereka malah membantu pasien yang lain. Anak-anak itu benar-benar membuatku bangga.
Pada malam Idul Fitri, aku membawa banyak baju dan perlengkapan sholat untuk anak-anak. Tapi saat aku tiba di pinggir jembatan Kali Merahi, anak-anak tengah mencoba baju baru.Aku bertanya-tanya, siapa yang membelikan baju itu? Apa mereka membelinya dengan uang hasil bekerja mereka? Dan jawabannya hadir ketika seorang lelaki muncul dengan banyak makanan juga pakaian. Aku bertanya pada Fadly, "Siapa dia?"
"Dia adalah orang tua angkat kami."
"Oh ya? Tapi aku tidak pernah bertemu dengannya."
"Karena dia baru menyelesaikan pekerjaannya di luar kota. Ayo kak aku perkenalkan padanya."

Fadly membawaku ke laki-laki itu yang tengah asyik berkumpul bersama anak-anak yang lain. "Assalamu'alaikum, pasti anda Fidya. Terima kasih telah menjaga anak-anak selama satu bulan ini.
" "Sama-sama. Tapi bagaimana anda tahu nama saya?"
"Anak-anak sudah bercerita tentang anda sejak saya tiba siang tadi."
"Oh begitu. Apa benar anda adalah orang tua angkat mereka?"
"Benar, anak-anak sering menganggap saya seperti itu. Karena itu saya bekerja keras agar saya bisa membelikan sebuah tempat yang layak untuk mereka tinggali."
Saat itu pula, hatiku hancur. Keinginanku untuk tinggal bersama anak-anak di villa keluargaku sirna sudah. Aku menahan tangis dengan tersenyum pada mereka. Lalu ku berikan barang bawaanku padanya dan kuucapkan salam untuk segera pergi dari sana.
Sampai di rumah, aku menangis tersedu-sedu. Mama dan Papa bingung melihatku seperti itu. Mereka menanyakan apa keinginaku dan kenapa aku menangis di malam lebaran seperti itu? Aku mengatakan aku ingin Papa dan Mama untuk menjual villa agar aku tidak teringat kenanganku bersama anak-anak.
Seminggu kemudian, Papa mengatakan bahwa pembeli villa ingin bertemu untuk membahas masalah pembayaran. Papa juga mengatakan bahwa nama pembelinya adalah Bapak Muhammad. Aku segera menuju villa dan setibaku di sana, aku melihat orang yang berkumpul bersama anak-anak pada malam lebaran. Dia mengucapkan salam dan memperkenalkan diri sebagai Bapak Muhammad. Aku kaget mendengarnya. Aku bertanya, "Untuk apa anda membeli villa ini?"
"Untuk tempat tinggal anak-anak."
"Bukankah anda sudah memiliki tempat tinggal untuk mereka?"
"Belum, saat itu saya baru tiba di kota ini dan belum sempat mencari tempat tinggal untuk anak-anak. Tapi anak-anak menyarankan saya untuk membeli villa ini."
"Benarkah anak-anak berkata seperti itu?" Saya menangis terharu menyadari anak-anak yang masih ingin menyimpan kenangan bersama saya. Sejak saat itu, saya memutuskan untuk bertemu kembali dengan anak-anak seperti saat Ramadhan.

The End