Hidupku
yang lalu tak secerah dan seceria seperti Ramadhan tahun ini. Hidupku kini jauh
lebih berwarna dari pada sebelumnya. Kini, aku telah menemukan arti kehidupan
yang sesungguhnya. Aku merasa benar-benar telah menjadi seorang pianis meskipun
aku telah mengenal piano sejak kecil. Aku baru saja menyadari bahwa piano
begitu sangat megah. Ia memberikan alunan musik yang indah. Oleh karena itu,
aku sangat menyukai piano. Piano adalah teman yang selalu ada untukku di saat
aku bahagia ataupun sedih. Itulah alasan kenapa aku lebih memilih mengambil
sekolah piano dari pada sekolah akademi. Setiap pagi aku berangkat ke sekolah
bersama supir pribadiku.
Di
sekolah piano, aku mengambil kelas VVIP. Jadi, aku hanya belajar berdua dengan
seorang guru profesional. Aku memang ingin belajar bersama teman-teman di kelas
Regular. Tetapi keinginanku untuk menjadi pianis yang profesional membuatku
memilih jalan yang cukup sulit ini. Bila di kelas Regular semua bisa bekerja
sama, tetapi aku hanya sendiri. Itulah yang membuatku takut bila bertemu dengan
orang asing.
Suatu
malam, aku pergi ke sebuah cafe sepulang dari sholat tarawih. Aku duduk di
sudut cafe sambil menunggu pesananku. Tak berapa lama kemudian, seorang pelayan
datang membawa segelas capuccino. Aku meraih gelas itu dan meminumnya.
Tiba-tiba si pelayan berkata,"Kamu Lolita, ya?" Tanyanya sambil
memperhatikan gelangku. "Ternyata kamu masih memakai gelang itu."
Katanya lagi. "Kamu ini siapa?" Tanyaku bingung. "Kamu lupa sama
aku? Sudah lama memang kita tidak bertemu." Katanya lalu beranjak pergi.
Aku bertanya-tanya siapakah dia? Kenapa dia bisa mengetahui namaku? Rasa
penasaranku membuatku menghampiri cafe tersebut setiap hari sepulang ku dari
sekolah hanya untuk memperhatikannya. Aku memandangnya dalam-dalam sambil mencoba
mengingat dirinya. Namun, selama apapun aku memandang, aku tetap tidak
menemukan jawabannya. Hingga akhirnya aku menyerah dan menganggap pelayan itu
hanya berpura-pura mengenalku.
Aku
kembali menyibukkan diri dengan sekolah. Dan kesibukan itu membawa hasil yang
memuaskan. Aku menjadi peringkat pertama di sekolah piano. Guru pribadiku
sangat bangga dan mengajakku untuk merayakannya di cafe. Dan seperti biasanya,
pelayan itu muncul kembali membawakan pesananku. Aku merasa bahwa cafe tersebut
hanya mempunyai satu pelayan karena ia selalu muncul di hadapanku. "Apa
kabar? Akhirnya kita bertemu kembali." Begitu sapanya. Aku tak membalas
sapaan itu. Hanya senyum yang ku torehkan padanya. "Kenapa kamu tidak
memakai gelang itu? Biasanya kamu selalu memakainya" Katanya setelah
memperhatikan tanganku. "Oh, gelang merah itu?" Tanyaku. Tiba-tiba
dia tersenyum sambil mengatakan,"Selamat atas kesembuhan matamu." Dan
kalimat itu berhasil membuatku semakin bingung. Ku tanyakan siapa namanya yang
di jawab 'Ferly' olehnya. Seketika itu juga aku berdiri. Tak terasa air mataku
terjatuh karena bahagia. "Apa kamu benar-benar Ferly?" Tanyaku yang
di jawab dengan sebuah anggukan di sertai senyum yang merekah.
Ku
pandangi lama wajah Ferly sebagai obat penghilang rindu karena baru melihatnya
setelah sekian lama. Sebelum aku meninggalkan cafe, aku berkata akan menemuinya
kembali di sana besok. "Besok? Aku tidak bisa." Jawabnya yang
membuatku kecewa. "Kenapa? Apa kamu tidak ingin bertemu denganku? Padahal
aku masih belum puas melihatmu." Kataku. "Bukan begitu, besok aku
libur bekerja. Aku akan menjemputmu lalu kita pergi ke sebuah tempat
bersama." Serunya.
Keesokan
harinya, aku pergi dengan Ferly ke sebuah taman yang sangat indah.
"Ramadhan tahun lalu, kita bertemu di sini. Kamu tersesat lalu menangis di
kursi ini. Kamu bercerita bahwa kamu merindukan ibumu. Tapi kamu hanya dapat
memeluk gelang merah pemberian ibumu." Terangnya saat mengingat pertemuan
pertamaku dengannya. "Lalu aku menggodamu. Aku mengatakan kalau kamu tidak
sedang sendirian. Kamu bersama ratusan bunga yang indah di taman ini. Dan kamu
mengatakan kalau kamu ingin sekali melihat taman ini suatu hari nanti."
Tambahnya melanjutkan nostalgianya. "Sejak saat itu aku sering bertanya,
kenapa kita bisa bertemu?" Katanya lagi. "Karena takdir. Dari sekian
banyak orang di dunia ini, hanya kamu yang di pertemukan Allah untukku."
Jawabku.
-THE
END-